beranda

Senin, 11 Juni 2012

Berkeliling Pulau Terpencil, untuk Ajarkan Mengaji

Ustadz Dauri Hamzah

Di usia yang relatif muda ia sudah berkeliling pulau-pulau terpencil di sekitar Barelang . Tujuan hanya satu, mengajar anak-anak mengaji dan mengajak yang dewasa kembali beribadah.
Beberapa bulan ini Dauri wira-wiri Batam-Galang. Tiap hari setelah ba,da Ashar  pemuda itu menyambangi Pulau Tia Wakang dan Tanjung Gundap. Di sana ia punya tugas baru yaitu memberi dakwah kepada masyarakat terpencil.

Dauri adalah salah seorang mudaris (pengajar) yang ditugaskan oleh yayasan AMCF (Asia Muslim Charity Foundation) mengabdi di pulau-pulau terpencil di seluruh Indonesia. Sebelum bertugas, Dauri ikut pelatihan dai selama tiga bulan di Solo. Dalam satu angkatan tersebut berjumlah 36 orang. Dan hanya tiga orang yang ditugaskan di wilayah Batam.

Mereka berumur antara 21- 45 tahun.  Dalam pengadian ini, mereka dikontrak selama satu tahun. Masa kontrak tergantung pada medan dakwah. Dauri mencontohkanya salah seorang temannya yang ditugaskan di kota Tanjungpinang. Tempat dakwahnya di tengah kota, oleh pihak yayasan dipindahkan ke pulau terpencil. Artinya, masa kontrak belum habis dijalankan bisa dipindahkan. Ada juga karena permintaan warga karena sudah cocok dengan dai tersebut maka seorang dai bisa memperpanjang kontraknya.

Sejak pindah tugas, Dauri harus mengajar agama di pulau-pulau kecil. Saat ini  baru dua pulau yang terjamah olehnya. Yakni Tia Wakang dan Tanjung Gndap. Karena, dua pulau ini masih bisa dicapai dengan sepeda motor. Setelah Tanjung Gundap, Dauri berencana mengajar agama ke Setengar.

Setiap hari, lulusan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab Sa'at bin Abi Waqosh di Palembang bolak-balik ke Tanjung Gundap, pulau terpencil sebelum Jembatan I Barelang.  ''Karena baru mulai mengajar. Saya pasti cari salah satu warga untuk diajak keliling. Kalau ada Pak Bakar, saya selalu ditemani beliau. Dia warga di sana. Tapi kalau Pak Bakar sedang bekerja, saya sendirian, '' kata Ustadz berumur 25 tahun itu kepada Batam Pos, Rabu pekan kemarin di Bengkong Polisi. 

Di Tia Wangkang, Dauri hanya sesekali saja. Ia hanya membantu program kegiatan dai di pulau itu. ''Kebetulan di sana sudah ada dai, saya tidak full mengajar, '' kata Dauri lagi.

Sore itu, setelah menunaikan Salat Ashar, Dauri bersiap berangkat ke Tanjung Gundap Dapur Arang. Dengan menggunakan sepeda motor Revo milik Ustadz Zainal (sesama dai), Dauri berangkat sendiri dari tempat tinggalnya di Bengkong Polisi. Ia hanya membawa sebotol air putih untuk bekal di jalan. Perjalanan yang akan ditempuh Dauri dengan sepeda motor sekitar 30-45 menit. Jalanan menuju Tanjung Gundap masih tanah. Saat musim hujan jalan menjadi licin.

Warga di sana, kata Dauri, adalah warga suku laut dari Pulau Tumbar. Jumlahnya hanya 20 kepala keluarga. Mereka hidup dengan mencari ikan. Karena itu, kata Dauri, ia selalu melakukan pendekatan dengan cara mendatangi satu per satu rumah warga. ''Awalnya ngobrol soal pekerjaan. Kemudian akhirnya bicara soal agama. Saya juga ajarkan soal tenggang rasa. Saling tolong-menolong, itu boleh saja. Tapi jangan sampai terpengaruh. Pegang teguh kepercayaan kita. Jangan karena diberi sesuatu, lalu kita ikut ajakkan untuk berpindah kepercayaan, '' kata Dauri.

Diakui Dauri, ia selalu dihadapkan pada kondisi yang sulit. Warga di Tanjung Gundap hidup dalam kondisi susah. Mereka menggunakan alat sekadarnya untuk mencari ikan di laut. Hasilnya juga cukup makan saja. Mereka butuh alat untuk dapat mencari ikan atau kepiting. Karena itu, di saat ada yang memberi Minto (alat untuk menangkap kepiting) mereka mau. ''Walau ada imbalan harus menganut kepercayaan tertentu,'' tambahnya. Tak heran, kata Dauri, jika tinggal satu orang saja yang muslim. Padahal dulunya semuanya beragama Islam.

Apalagi di tempat itu, Dauri melanjutkan, tidak ada mushala. Justru yang ada tempat ibadah agama lain. Padahal hanya satu orang pemeluk agamanya. Bangunannya permanen dan selalu ada kegiatan agama di dalamnya. Dan mereka juga rajin sekali mengajak warga. Akibatnya, satu per satu warga tertarik ikut kegiatan agama, termasuk juga anak-anak. 

Dauri yang datang dengan tangan kosong tentu tidak menarik bagi warga. '' Mereka mau diajak bicara, tapi tidak mau mendengarkan nasehat. Mudah-mudahan dengan dibangunnya mushala oleh yayasan AMCF membuat mereka bisa kembali beribadah dengan baik, '' kata  mudaris  itu.

Dauri juga menceritakan rasa takut dan cemas saat melakukan perjalanan pulang dari Tanjung Gundap ke Bengkong. Karena beberapa minggu ini, terjadi pembunuhan di Tanjung Gundap. Pelakunya diduga orang Tanjung Aping dekat Dapur Arang di wilayah Tanjung Gundap. ''Kalau dikejar anjing sudah dua kali, hari Rabu (27/4) dan Kamis (27/4) ketika masuk ke daerah Tanjung Gundap, '' cerita Dauri lagi.

Dauri mengaku, tantangan seperti itu tak membuatnya menyerah dan mundur. Yang justru membuat Dauri bimbang adalah tawaran kerja dengan pendapatan lebih. Saat ini gaji yang diterima Dauri 950 ribu perbulan, Dauri harus mencukupi kebutuhan sehari-hari juga membeli bensin. '' Terkadang dibantu juga dengan pak Imbalo, '' kata Dauri.


Baru-baru ini, kata Dauri, seorang teman di Pekanbaru mengajak bisnis jual pempek Palembang. Selain pendapatan dari berjualan, ia juga bisa mengajar ngaji dan atau mengajar di sekolah agama. Tapi tawaran itu akhirnya ditolak, dan Dauri memilih di Batam. ***


Mandi, Naik Perahu ke Pulau Seberang

Pertamakali ke Batam tahun 2010, Dauri bertugas di Pulau Geranting (45 menit dari pelabuhan Sekupang). Diantar Imbalo dan Aris Kurniawan (koordinator dai untuk wilayah Batam) menggunakan pompong sewaan. ''Itulah pertamakalinya saya naik pompong. Seram juga. Karena ombaknya cukup tinggi, ''kata pria kelahiran Palembang tahun 1985.

Di Geranting, Dauri menghadapi kondisi baru. Walau mayoritas muslim, warganya tidak pernah shalat berjamaah di mushala atau masjid. '' Saya ingat delapan bulan lamanya, saya sendirian shalat di mushala. Saya yang azan, saya juga yang iqomat. Ketika ditawari shalat berjamaah, bapak-bapak di sana selalu beralasan bajunya kotor, '' kata Dauri

Tidak ada taman pendidikan Al Quran (TPA) membuat anak-anak tidak pernah belajar agama. Karena itu sejak Datang, Dauri mulai mengajak anak-anak mengaji. ''Saya ajak warga gotong royong membersihkan gedung madrasah. Ada dua lokal yang kami bersihkan. Tempat itu kemudian dijadikan TPA, '' kata pria yang pernah belajar di Pondok Pesantren Assalam di Sungai Lilin Sumatra Selatan.

Hari pertama, 135 anak datang ke TPA untuk mengaji. Hari kedua, Dauri mulai membagi dua kelas yaitu kelas Iqro pukul 13.30 dan kelas Al Quran pukul 15.30 WIB. Karena jumlah anaknya banyak, Dauri membuat teknik belajar cepat. '' Caranya dengan mengikuti, menulis dan menghafal hadist. Setiap hari wajib hafal satu Mahfudzot (kata bijak/kata mutiara). Dengan cara ini, anak-anak juga sekaligus mengenal huruf arab,'' kata anak ke delapan dari 10 besaudara.

Dauri juga mewajibkan anak-anak datang ke mushala untuk mengulang pelajaran sekaligus shalat Magrib berjamaah. Selama delapan bulan itulah, Dauri membiasakan pada anak-anak. ''Alhamdullilah, mushala menjadi ramai oleh anak-anak. Dan saya shalat tidak sendiri lagi. Orangtua baru mulai datang shalat berjamaah setelah bulan Ramadhan dan juga mulai ada pengajian Fiqih, ''kenang Dauri.

Selanjutnya, Dauri mulai membuka program Tahfiz Quran (menghafal Al Quran). Ada lima anak yang mampu menghafal Quran. Bahkan mereka sudah bisa menjadi imam saat shalat walau hanya anak SMP. '' Imam tidak dibatasi umur. Asalkan paling baik bacaannya dan paling banyak hafalannya, ia bisa menjadi imam, '' kata Dauri.

Dauri hanya berharap, agar muncul generasi yang bisa memimpin dan bisa mejadi Muazin (berazan). Alhamdullilah, kata Dauri, salah satu anak didiknya meraih juara I Tartil Al Quran tingkat anak-anak mewakili Kecamatan Belakang Padang. Namun sayang, anak didiknya tidak bisa diberangkatkan ke Batam karena masalah umur yang baru 13 tahun. 

'' Kalau bukan dakwah, sudah saya tinggalkan, '' kata Dauri. Pulau Geranting benar-benar dirasakan Dauri sebagai pulau terpencil. Sinyal ponsel hilang timbul. Tak heran banyak sekali warga di sana menggantung ponselnya di tempat-tempat tinggi. '' Di tempat tinggal saya itu saja, banyak paku-paku di dinding. Teman-teman saya selalu menggoda. Katanya saya lagi di tempat pembuangan jin, jika tidak bisa dihubungi. Ibu dan kakak juga sering khawatir ketika saya tidak bisa dihubungi, ''kata Dauri.

Tak hanya komunikasi yang sulit. Air dan listrik juga tidak ada. Saat pertama datang, Dauri harus mandi dan mencuci baju ke Pulau Tumbar (pulau seberang). Butuh waktu 1/2 jam untuk sampai ke pulau itu.  Ketika pulang, Dauri yang ditemani warga di sana membawa jirigen dan ember berisi air. ''Untung saja tidak sampai terbalik. Perahu hanya oleng-sedikit. Saya takut karena tidak bisa berenang,'' kata Dauri. ***






Tidak ada komentar: