Dasar bedak itu sudah
mengubah wajah mereka menjadi lebih cerah. Apalagi ditambah sapuan
blouse on warna coklat di pipi makin membuat wajah ibnu, Indra, Yogi
juga Ahmadi berwarna. Karena harus membawakan tari Dayak, Yogi Agnan,
siswa SMU 3 kelas 2 ini menambahkan lukisan menyerupai ranting-ranting
pohon bercabang pada wajah, tangan juga kakinya. Setelah selesai
menggambar tubuhnya sendiri, Yogi mendatangi Ibnu Reva Prasetyo, honorer
bagian Tata Usaha SMP 20 dan membantu melukis kaki temannya itu.
Ditempat
lain Ahmadi, mengoleskan lipstik berwartna merah dan membuat gambar
bibir yang lebar. Ahmadi, lajang yang bekerja di salah satu media
terbesar di Batam ini akan tampil menari Dongklak. Jika dilihat hasil
riasan yang dibuat Ahmadi sama seperti Semar dan Gareng, tokoh wayang
orang yang dulu pernah tayang di televisi.
"Dandan untuk tokoh
berkarakter seperti tari Dongklak memang harus kreatif. Biasanya
diantara kami ada yang ngasih ide," kata Ahmadi, pria kelahiran Sulawesi
ini. Dandan, bagi Ibnu, Indra dan Yogi menjadi hal biasa saja sejak
menjadi penari. Tidak ada lagi rasa canggung ketika harus memoles wajah
dengan peralatan makeup milik wanita ini. Tangan mereka menjadi sangat
lentur ketika memegang spon bedak, kuas bloush on, lipstik, lipglos juga
pensil alis.
Menari memang membuat anak asuh Wahyuji Andayani,
pemilik Sanggar Tari Tradisional Duta Santarina ini menjadi serba bisa.
Kelenturan tubuh saat menari tak lagi diragukan, dandanpun tak perlu di
bantu, satu hal lagi yaitu mereka sangat mandiri ketika mengenakan
kostum tari. Memasang kain panjang, mengenakan hiasan di kepala,
semuanya harus bisa dilakukan sendiri.
Menari memang menjadi mudah
bagi Indra Pramono (21) dan Ibnu Reva Prasetyo (18), karena keduanya
memili garis keturunan seniman. "Ibu saya sinden di Rembang dan juga
penari jaipongan. Kata ibu, saya menjadi satu-satunya anak yang
menurunkan bakat menarinya. Dan ibu saya juga heran kenapa yang
menurunkan bakatnya justru anak laki-lakinya,"kata Indra mengulang
omongan ibundanya Siti Aminah.
Bagaimana dengan Ibnu? Ternyata kedua
orangtuanya adalah penari. Ibunya Siti Masruroh adalah penari Melayu di
Bengkalis. Dan bapaknya, Harjoko seorang penari reog.
"Yang ikut
menyenangi seni tari saya dan adik bungsu yang sekarang masih kelas 6 SD
di Pekanbaru,"kata Ibnu yang sudah menjadi penari sejak SD. Tak
heran jika Ibnu dan Indra sangat didukung keluarganya. Mereka tidak
pernah melarang anak laki-lakinya jadi penari. Bahkan Ibnu selalu
mendapat dukungan dari bibinya yang ada di Batam. "Saya jadi tidak
merasa sendiri, walau orangtua jauh di Pekanbaru, bibi selalu lihat
kalau saya tampil. Kebetulan bibi juga guru kesenian di TK, yang suka
dengan tari-tarian,"cerita Ibnu di sanggar Duta Santarina, Rabu (16/5).
Orangtua
Indra justru paling sering mengkritik anaknya. "Ibu suka bilang kalau
jempol saya kurang naik lah. Pokoknya ada saja kritikan. Maklum penari
juga,"kata Indra lagi. Walau orangtua Yogi tak seperti Ibnu dan
Indra, namun Yogi tak pernah terima larangan menari. Ibunya, Nanik
Suryani, yang seorang guru mengaji, justru makin senang karena putranya
sudah bisa mencari penghasilan sendiri. "Awalnya untuk mengisi liburan
sekolah. Saya ke sanggar tari ini bersama teman. Pas tiga hari bergabung
dan latihan, saya langsung dapat job tari jaranan,"kata remaja berbadan
tinggi dan tegap ini.
Indra juga mengaku tak sengaja bergabung di
sanggar yang ada di ruko Hang Kesturi, Legenda Malaka ini. "Awalnya
penari-penari pimpinan bunda Ayu ini tampil di acara ulangtahun ditempat
kerja saya di PT Japan Servo, Mukakuning. Sewaktu lihat mereka, saya
kok kepengen menari juga. Akhirnya saya datang ke sanggar. Seharian di
sanggar saya hanya lihat mereka latihan,"kata Indra yang akhirnya
bergabung di sanggar enam bulan lalu.
Tak butuh waktu lama, Indrapun
mulai tampil di depan umum sejak hari ke tiga latihan. Tarian pertama
Indra di depan umum adalah Silat Pasambahan Padang. Ibnu juga tak butuh
waktu lama untuk latihan, malam harinya ia masih berlatih, besok pagi
sudah harus tampil di Harmoni One Hotel. Tarian pertamanya, Persembahan
Melayu. Ia membawa bunga Manggar. Karena masih bekerja dan sekolah, Ibnu, Indra, Yogi dan Ahmadi hanya bisa tampil pada waktu-waktu tertentu saja.
"Saya
biasanya terima job hari Sabtu dan Minggu saja. Karena dari Senin
sampai Jumat saya masih kerja. Menari bagi saya adalah hiburan. Saya
senang aja, walau nanti gaji yang saya terima di pete tak ada tambahan
overtime,"kata Indra yang sudah bekerja di perusahaan elektronik 1,5
tahun lalu.
Ibnu justru punya banyak waktu terima job tari. Setiap
harinya Ibnu bekerja mulai pukul 08.00-14.00 WIB. "Kalau ada menari
pagi, biasanya saya minta izin. Tapi kalau tidak dikasih izin, ya saya
tidak ikut menari,"kata remaja yang pernah menjadi pramuniaga di
Matahari dan mengajar eskul di sekolah Permata Harapan.
Yogi yang
masih berstatus pelajar ini tidak sefleksibel teman-temannya. Ia yang
lebih senior dibanding Ibnu dan Indra tak bisa selalu tampil. "Kalau
lagi ujian atau tampilnya pagi hari saya ngak ikut. Tapi kalau acaranya
besar, biasanya saya akan ikut,"kata Yogi yang sudah 2 tahun menjadi
penari di sanggar Duta Santarina.
Ahmadi juga melakukan hal yang sama
dengan Ibnu dan Indra. Ia hanya menari saat waktu luang saja. Kalau
harus menari keluar kota, biasanya redaktur halaman Xpresi Batam Pos
ini memilih cuti. "Kalau jobnya malam dan pas hari kerja, saya
selesaikan pekerjaan dulu. Dari kantor saya sudah memakai baju tari.
Riasannya di tempat acara,"kata pria bertubuh mungil ini.
Dengan
menjadi penari, mereka mengaku merasakan jalan-jalan gratis. Ibnu sudah
menginjakkan kakinya di negara Malaysia dan Singapura. Indra yang asal
Rembang, jadi tahu Guntung, karena ia berkesempatan menari di kota itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar